SEJARAH PERKEMBANNGAN TEOLOGI LAMA
BAB I
PENDAHULUAN
Mempelajari Perjanjian Lama, berarti
mempelajari sejarah masa lalu, mempelajari dunia yang berbeda dengan konteks
kita masa kini. Perbedaan ke dua zaman ini menjadi akar persoalan dalam studi
Perjanjian Lama. Menemukan arti suatu teks dan makna ayat itu pada masa kini
merupakan masalah mendasar dalam teologia Perjanjian Lama. Problematika
Perjanjian Lama ini dilihat oleh para Ahli Alkitab dalam dua aspek yaitu adanya
perbedaan dan persamaan yang terdapat di antara dunia Perjanjian Lama dengan
dunia masa kini.
Seorang teolog Jerman, Gottold
Lessing mengatakan: terdapat ‘jurang yang ngeri’ antara dunia Alkitab (teks
asli, arti asli) dengan dunia masa kini yang tidak mungkin dapat dijembatani,
sehingga tidak mungkin bagi kita untuk mencari arti dari suatu teks (arti asli)
dan maknanya bagi kehidupan masa kini. Menurut Lessing, kitab Suci (khususnya
Perjanjian Lama) terikat kepada lingkungan sejarah kunonya. Semua pernyataan di
dalam Perjanjian Lama diwarnai oleh kepercayaan primitif dari orang-orang yang
menulisnya. Pemikiran Lessing ini telah “mengotori” pemikiran para ahli tentang
tentang Alkitab, Alkitab hanya merupakan produk dari zamannnya yang tidak lagi
dibutuhkan pada zaman moderen ini. Alkitab tidak lagi berbicara secara
otoritatif kepada para pembacanya pada masa kini. Dunia dan dunia masa kini
dapat digambarkan sebagai berikut :
Dunia Alkitab Dunia masa kini Antara dunia Alkitab berbeda
dengan dunia masa kini
1. Latar belakang sejarah2. Geografis
3. Budaya
4. Bahasa dan lain-lain
5. Politik
6. sistim pemerintahan
7. Agama dan kepercayaan dan lain-lain
Tiap-tiap orang terikat oleh pra-pengertiannya
dan tidak mungkin masuk ke dalam pengertian sama dengan penulis zaman dahulu.
Maksud yang berarti bagi kita adalah maksud yang kita temukan dalam teks
terlepas dari konteks dan maksud asli”. Sejalan dengan perkembangan itu, Ilmu
Anthropologi menemukan sekian banyak manusia di bumi dengan keaneka ragaman
kebudayaan dan system penghargaan yang melahirkan filsafat Relativisme budaya.
Pandangan ini antara lain mancatat, “Tidak ada kebudayaan yang mutlak oleh
karena itu kebudayaan membuktikan bahwa manusia dapat hidup berbeda dari
manusia yang lain. Kebudayaan hanya berlaku atau benar dalam kebudayaan itu
sendiri. Tidak mungkin sesuatu diambil dari kebudayaan menilai sesuatu dari
kebenaran yang lain.
Arti dan nilai-nilai yang berlaku untuk masa
kini sangat berbeda dari arti dan nilai pada jaman kuno. Dengan demikian kita
tidak mungkin dapat memahami arti asli dari satu teks.
Untuk menjembatani kesenjangan
antara arti asli dari satu teks dengan maknanya bagi kita masa kini, para
Sarjana Alkitab Moderen mencoba memberikan tiga pendekatan:
1. Arti asli (dengan metode apapun) identik dengan arti
masa kini.
2. Arti asli, mengandung gagasan-gagasan yang harus
diterjemahkan untuk memperoleh
makna masa kini.
3. Arti asli cara orang Kristen dahulu menggunakannya,
sehingga makna masa kini cara ayat-ayat
tersebut digunakan oleh Kristen modern . menjadikan rasio manusia sebagai
ukuran dalam mengevaluasi Alkitab Perjanjian Lama. (contoh-contoh pemikiran
Teolog ini akan dibahas dalam bagian yang berikut) Untuk menjembatani gap yang
terdapat antara Perjanjian Lama dengan dunia masa kini.
Maka kita harus bertitik tolak
kepada pekerjaan Roh Kudus yang menginspirasikan para Penulis Perjanjian lama.
Roh Kudus yang sama adalah Roh yang mengiluminasi pembaca Alkitab masa kini.
Roh Kudus berkuasa untuk “menyeberangkan” pembaca masa kini untuk dapat
memahami apa yang terjadi pada dunia kuno (Perjanjian Lama). Bertitik Tolak
dari keyakinan terhadap pekerjaan Roh Kudus, kita paling tidak menemukan “tiga
jembatan” yang menghubungkan dunia masa kini dengan dunia Kuno.
a. Dunia Perjanjian Lama memiliki Allah yang sama
dengan duni masa kini
Berdasarkan pemahaman ini
pertama-tama kita harus menolak pemahaman relativisme sejarah yang membedakan
Allah Perjanjian Lama (kuno) dengan Allah dalam Perjanjian Baru (sebutkan
perbedaan-perbedaan Allah menurut pandangan ini). Allah menjadi jembatan yang
utama karena Allah adalah Allah yang tidak berubah. Ia Allah yang tidak berubah
dalam keberadaan-Nya, kesempurnaan-Nya, tujuan-Nya, dan janji-janji-Nya. Allah
adalah Allah yang konsisten yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian-Nya
dengan manusia yang berlaku di sepanjang masa. Perjanjian Lama mencatat
kesetiaan Allah terhadap Perjanjian-Nya di sepaanjang sejarah antara lain:
Kej.17:7; Ul.29:13; 2Sam.7:13-16; 1Raja.8:15-16,56; Ibr.6:16-20)
b. Dunia Perjanjian Lama adalah dunia yang sama dengan
dunia masa kini
Dunia Perjanjian Lama adalah sejarah
yang riil yang pertama-tama di apklikasikan dalam dunia perjanjian Lama itu
sendiri (contoh Yosua1:1-12:24 dan 1Raj.23:26-27;24:3-4). Mereka
mengaplikasikan peristiwa-peristiwa pada zamannya karena mereka mengalami dampak
atau akibat dari setiap peristiwa itu. Peristiwa Perjanjian Lama itu terus
berkembang dan membuka jalan sampai kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada zaman moderen ini. Peristiwa-peristiwa dalam Perjanjian Lama itu telah
meninggalkan “tanda” bagi kita pada masa kini. Kita hidup di dunia yang sama
yang telah diciptakan oleh Allah. Dunia Perjanjian Lama memiliki persoalan yang
sama dengan dunia masa kini meskipun bentuk-bentuknya yang berbeda.
c. manusia Perjanjian Lama adalah “manusia yang sama”
dengan manusia masa kini
Manusia Perjanjian Lama dengan
manusia masa kini memiliki hakekat yang sama paling tidak dalam dua hal.
- manusia yang sama karena diciptakan oleh Allah
menurut gambar dan rupa-Nya. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, sehingga
persoalan dan kebutuhan dasar manusia sepanjang sejarah pada hakekatnya adalah
sama (apa itu?)
- manusia yang sama yang memiliki keunikan dari
ciptaan lainnya. Keunikan manusia ini merupakan implikasi gambar dan rupa Allah
yang terdapat pada manusia. Manusia memiliki kemampuan berbahasa (linguistic
abilities), kapasitas mental (mental capacity) dan sifat moral (moral nature).
Melalui pendekatan ini, gap antara
dunia kuno dengan dunia masa kini dapat dijembatani. Jembatan ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
-
Allah
-
Dunia
-
Manusia
-
Dunia
-
Dunia kuno masa kini
Terlepas dari semua pandangan dan
teori para ahli Alkitab, dalam mempelajari Perjanjian Lama, kitapun diperhadapkan
dengan persoalan lain
1.
Mengetahui arti asli, berarti mengetahui tujuan
penulis
Persoalannya : Hampir keseluruhan kitab dalam Perjanjian Lama tidak menjelaskan tentang penulis-penulis tiap-tiap kitab secara eksplisit, apakah satu kitab ditulis oleh satu pengarang atau lebih (seperti Mazmur, Pentateukh, Yesaya dll).
Persoalannya : Hampir keseluruhan kitab dalam Perjanjian Lama tidak menjelaskan tentang penulis-penulis tiap-tiap kitab secara eksplisit, apakah satu kitab ditulis oleh satu pengarang atau lebih (seperti Mazmur, Pentateukh, Yesaya dll).
2.
Dari mana kita dapat mengetahui arti teks berdasarkan
tujuan seseorang atau lebih dari penulis yang tidak diketahui pengarangnya?
2. Mengetahui arti asli berarti mengetahui maksud
penulis
Persoalan : Apakah maksud penulis
identik dengan pengarang Ilahi
Untuk menjawab pertanyaan ini biasanya para sarjana
Alkitab konservatif mengacu kepada tulisan Rasul Petrus: ‘yang terutama....’ (2
Ptr. 1:20-21). Berdasarkan teks ini jelas, bahwa dibalik semua penulis manusia
ada seorang pengarang tunggal yang memiliki maksud dan tujuan dalam semua
tulisan. Beberapa contoh kasus: Hosea 11:1 Dari uraian di atas, maka kita
menemukan berbagai persoalan hermeneutik:
• Kita tidak mengetahui pengarang-pengarang dari
kitab-kitab Perjanjian Lama
• Beberapa kitab ditulis oleh satu orang atau lebih
dalam waktu tertentu
• Kita tidak mengetahui suatu apapun tentang pengarang
kecuali melalui karangan mereka
• Tujuan Ilahi dalam setiap karangan yang ditulis oleh
para penulis kadang-kadang lebih dari yang dimaksud oleh pengarang.
BAB II
ISI
Sejarah
perkembangan Teologia Perjanjian Lama.
Sejarah Teologia Perjanjian Lama
sangat panjang, menarik dan penuh dengan liku-liku. Meskipun disipilin Teologia
dalam bentuknya yang moderen paling tidak sudah berusia dua ratus tahun, tetapi
akar teologia Perjanjian Lama harus kembali kepada Perjanjian Lama itu sendiri
. Sebagian besar Sarjana Alkitab menghubungkan sejarah Teologia Perjanjian Lama
kepada Johann Philipp Gabler, yang dianugrahi dengan gelar Doktor Teologia di
Universitas Aldorf tahun 1787 oleh karena sumbangannya terhadap perkembangan
dalam bidang Perjanjian Lama (meskipun Ia sendiri tidak pernah menulis Teologi
Perjanjian Lama). Teologia Perjanjian Lama merupakan bagian dari Teologia
Biblika ( pada zaman Gabler tidak ada perbedaan antara Teologia
dogmatika/sistimatika dan Biblika) sehingga perkembangan teologia Perjanjian
Lama sebagai bagian dari disiplin teologia secara menyeluruh merupakan
perkembangan Teologia Biblika. Teologia Perjanjian Lama mengalami perkembangan
dalam beberapa periode:
1. Periode Persiapan
Teologia Perjanjian Lama pertama-tama
tidak harus dihubungkan dan dipahami dengan zaman Gabler, tetapi pada
Perjanjian Lama itu sendiri. Sejarah Teologia Perjanjian Lama telah eksist jauh
sebelum jaman Gabler. Perjanjian Lama sudah dipahami di dalam zamannya sebagai
penyataan Allah dan Perjanjian Lama dipakai oleh para penulis Alkitab
(Perjanjian Lama) yang kemudian sebagai sumber teologianya. (Mazmur 78; Yer.
26:18; Ezr. 7:10; Neh. 8:1-8). Nabi Hagai harus mengetahui tentang Nubuatan
Nabi Yeremia tentang Allah yang akan menggerakkan “cincin materai-Nya” dari
tangan tangan nenek moyang Konya (Yer.22:24-25) ketika Ia berkata Allah akan
membuat Zerubabel, anak anak Konya, seperti “cincin materai” (Hag.2:23).
Yeremia berbicara tentang suatu “Perjanjian Baru” (Yer.31:31-34). Nabi yang lain
berbicara tentang nabi suatu “keluaran baru” (Yes.43:14-21; 48:20; 52:12) dan
“Daud yang baru” (Yer.23:5-6; Yeh.34:23-24; 37:24-27).
Komunitas Qumran menafsirkan
bahan-bahan dari Perjanjian Lama secara teologis. Mereka menulis beberapa
tafsiran atau hymne yang didasarkan kepada tema-tema dari Perjanjian Lama.Perjanjian
Baru, memakai Perjanjian lama secara teologis, dua puluh tujuh kitab dalam
Perjanjian Baru menunjukkan hubungan secara langsung dengan Perjanjian Lama.Yesus
Kristus secara konsisten berbicara tentang Perjanjian Lama sebagai dasar dan
penjelasan bagi pengajaran dan pelayanan-Nya (Mat. 5:17; Luk 17, 21; 24:27).
Penulis PB (para rasul) mempelajari Perjanjian Lama sebagai nubuatan
keselamatan (Kis. 3:24). Mereka menekankan kebenaran tentang berbagai aktifitas
Allah dalam sejarah Israel (Kis. 7, 13:16-41). Mengambil Perjanjian Lama
sebagai bagian yang besar dalam khotbah-khotbah mereka terhadap gereja
mula-mula dalam Perjanjian Baru (Kis. 2:16, 25; Mat. 1:22). Perkembangan metode
penafsiran Alkitab secara harafiah telah di kenal pada zaman itu, tetapi
penafsiran ini banyak diselewengkan dengan legalistik para Pharisi. Tradisi
Yahudi mencoba membatalkan keaslian Firman Allah (Mrk. 7:13) dan menurunkannya
kepada kebenaran diri sendiri. Orang Yahudi menolak keselamatan di dalam
Kristus, menutup diri dari kebenaran Alkitab ( Perjanjian Lama) sebagai
penyataan Allah.
Perkembangan sejarah teologia
Perjanjian Lama nampak jelas dalam kehidupan dalam Teologia Bapa-bapa gereja.
Pengertian tentang sejarah penyataan Allah sebagai karya
keselamatan Allah dalam sejarah Perjanjian Lama diyakini sebagai teologia yang sesungguhnya.
keselamatan Allah dalam sejarah Perjanjian Lama diyakini sebagai teologia yang sesungguhnya.
Irenaeus (AD. 180), murid Policarpus
yang adalah murid Rasul Yohanes tidak hanya mendirikan fondasi bagi teologia
gereja, dia juga dicatat seorang teolog biblika secara khusus menekankan
kesatuan yang ditemukan dalam penyataan Allah yang berkembang.
Agustinus dalam bukunya city of God (AD. 425)
membuat suatu analisa terhadap pernyataan Perjanjian. Lama dalam lima periode
sejarah. Tetapi Bapa gereja ini juga mewarisi metode Alegoris dari Alexandria
Yudaisme dalam menafsirkan Alkitab pada abad ke empat sampai dengan Abad ke 16,
thn.500-1500 (Abad pertengahan), minat terhadap Perjanjian Lama ditandai dengan
munculnya empat sistim penafisran yaitu : arti literal atau historical,
allegorical, moral atau tropological, dan spiritual atau analogical. Contoh
dari keempat metode penafsiran ini dapat kita lihat dalam peristiwa pemberian
“manna di padang gurun”. secara literalØ :manna adalah makanan ajaib yang
diberikan oleh Allah untuk memelihara bangsa Israel di padang gurun.
Ø Secara
Alegoris manna adalah berkat sakramen dalam Perjamuan kudus, secara
tropological :manna adalah substansi Roh dari hari ke hari melaluiØ
kehadiran Roh Kudus .
kehadiran Roh Kudus .
Ø Secara
analogical, : manna adalah “makanan dari surga yang memberkati jiwa atau
menggambarkan kesatuan yang sempurna dengan Kristus.
Contoh lain : Kota Yeruslem menurut metode penafsiran
ini dapat diartikan sebagai berikut :
Ø Analogical
--------------------- Yerusalem : Kota
surgawi
Ø Alegorical
---------------------- Yerusalem : Gereja
Ø Tropological
---------------------- Yerusalem : Jiwa manusia
Ø Literal
--------------------- Yerusalem : Kota
Yehuda
2 .Dari reformasi s/d zaman pencerahan
a.Para reformator
Para reformator abad ke 16
menerapkan prinsip ‘sola scriptura’ (hanya Alkitab saja) dan sui ipsui interper
‘Alkitab menafsirkan dirinya sendiri’ menjadi semboyan reformasi sekaligus juga
menjadi dasar untuk teologia biblika ( Perjanjian Lama) di kemudian hari.
Prinsip-prinsip ini menolak ‘kebenaran gereja’, ‘Paus’ atau ‘orang-orang kudus’
yang ditetapkan sebagai penafsir atas gereja. Penafsiran menurut prinsip ini
hanya datang dari Alkitab yang harus memberikan kebenaran hikmat tentang
diri-Nya sendiri (Ams. 2:6). Prinsip ini juga membatalkan Alegoris yang
mendominasi pada abad pertengahan dan dalam zaman ini Alkitab lebih cenderung
ditafsirkan secara harafiah
b. Zaman ortodoksi
Pada zaman ini muncul teologia
biblika yang pertama (th. 1640). Teologia biblika dalam zaman ini menyusun
ayat-ayat dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru untuk mendukung teologia
sistematika yang menjadi ratu di antara cabang ilmu teologia zaman itu. Dengan
kata lain, di buat rumusan-rumusan teologia dan kemudian dicari ayat-ayat
pendukung. Dalam periode ini teologia biblika bertugas untuk mendukung teologia
sistematika. Atau dengan kata lain Teologia Biblika menjadi ayat pandukung bagi
teologi Sistimatika
c. Pietisme
Pietisme membawa suatu perkembangan
dengan semboyan ‘Back to the bible’. Perkembangan ini sebagai reaksi dan
antisipasi terhadap teologia ortodoks yang sangat kaku. Teologia biblika harus dilepaskan
dari teologia sistematika sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan
teologia biblika dipahami sebagai dasar bagi teologia sistematika.
3.Zaman pencerahan
Pada zaman pencerahan terjadilah
suatu pendekatan yang baru sama sekal kepada teologia biblika disebabkan oleh
ciri-ciri zaman itu:
a. Segala
sesuatu yang bersifat supranatural ditolak.
Akal manusia dipandang sebagai kriteria/hakim
tertinggi dalam usaha menemukan dan merumuskan kebenaran. Ia juga diakui
sebagai sumber utama untuk memperoleh pengetahuan. Akibat perkembangan ini
ialah bahwa Alkitab sebagai rekaman sempurna dari Wahyu Allah ditolak .
b. Berkembangnya
hermeneutika Alkitab yang baru, yaitu metode historis kritis.
Yang berkuasa
di antara para teolog liberal sampai hari ini.
c. Kritik
liberaris yang radikal diterapkan juga pada Alkitab.
Salah satu pelopornya ialah dokter
medis dari Perancis Jean Astruc yang mulai untuk membagi Pentateukh atas
‘sumber-sumber’ yang fiktif.
d. Keyakinan akan inspirasi ilahi
dari Alkitab ditolak.
Alkitab mulai dipandang sebagai
salah satu dari sekian dokumen kuno di dunia ini. Pelopor paham yang baru ini
ialah seorang teolog reasionalis Johann Salomo Semler (1725-1791). Ia
menegaskan bahwa ‘Firman Allah sama sekali tidak sama dengan Alkitab’ sehingga
tidak lagi dapat dikatakan bahwa ‘Alkitab adalah Firman Allah’. Itu berarti
bahwa:
a) tidak semua bagian Alkitab berdasarkan wahyu dan
ispirasi Allah sendiri;
b) Alkitab adalah dokumen historis yang biasa
c) Alkitab harus diselidiki dengan metode-metode
historis dan itu berarti dengan metode-metode yang kristis.
Berdasarkan aksioma-aksioma ini maka
teologia biblika pada zaman pencerahan menjadi ilmu yang historis yang lagi
bertentangan dengan teologia sistematika, walaupun kali ini pertentangan itu
dari segi lain. Pada tahun 1792 Von Ammon menulis sebuah teologia biblika
berdasarkan ide-ide dari Semler, dan dari dua ahli filsafat di Jerman yaitu
Lessing dan Kant. Buku yang dikarangnya itu sebenarnya merupakan ‘teologia
filosofis’. Di dalam tulisannya nampak bahwa ia menganggap Perjanjian Baru
lebih tinggi dari Perjanjian Lama.
Gagasan ini merupakan langkah pertama ke arah pemisahan antara ‘teologia Perjanjian Baru’ dan “teologia Perjanjian Lama.
Gagasan ini merupakan langkah pertama ke arah pemisahan antara ‘teologia Perjanjian Baru’ dan “teologia Perjanjian Lama.
Johann Philipp Gabler (1753-1826),
seorang teolog dari aliran rasionalisme pada tahun 1787 memberikan definisi
penting, yang mengakibatkan bahwa teologia biblika terlepas sama sekali dari
teologia sistematika dan kemudian berdiri sendiri sebagai cabang ilmu sejarah.
Gabler menulis: ‘teologia biblika bersifat historis mengingat bahwa ia
meneruskan apa yang penulis-penulis suci pikirkan tentang perkara-perkara
ilahi; sebaliknya teologia sistematika bersifat didaktis (mengajar), mengingat
bahwa ia mengajarkan apa yang dipikirkan teolog itu tentang perkara-perkara
ilahi sesuai dengan kemampuannya, waktunya, zamannya, alirannya, tempatnya dan
hal-hal lain seperti itu’
Gabler menetapkan prinsip-prinsip
dalam membuat teologia Perjanjian Lama : pertama, Teologia Biblika dimulai dari
studi tiap-tiap bagian Alkitab dengan membedakan setiap bagian itu berdasarkan
prinsip penafsiran historical-Gramatikal. Kedua, kita harus membedakan setiap
bagian Alkitab satu dengan yang lain, tidak ada perbedaan atau persamaan dari
tiap-tiap bagian itu. Ketiga, dia harus sistimatis atau menyusun ide-ide secara
umum tanpa mendistorsi atau menghilangkan perbedaan-perbedaan. Pendekatan
Gabler sebagai seorang rasionalist terhadap teologia biblika berdasarkan tiga
prinsip:
1) Inspirasi ilahi dianggap tidak ada, sebab: “Roh
Allah sama sekali tidak memusnahkan dalam tiap orang suci kemampuannya sendiri
untuk mengerti dan ukuran pemahamannya secara alamiah terhadap perkara-perkara
ilahi..” Yang menentukan di sini bukanlah ‘otoritas ilahi’ melainkan ‘hanya apa
yang orang-orang itu pikirkan’
2) Teologi Alkitab bertugas mengumpulkan secara teliti
berbagai gagasan dari setiap penulis Alkitab, karena Alkitab tidak berisi
gagasan satu orang saja. Tugas ini hanya akan dapat dilaksanakan melalui metode
penelitian sejarah, satra dan filsafat.
3) Sebagai salah satu disipilin ilmu, teologi Alkitab
harus membedakan antara beberapa periode yang lama dengan yang baru. Mana yang
berlaku pada zaman ini mana yang tidak
Gabler memiliki pengaruh bagi para Sarjana Alkitab
terkemudian yang menghasilkan tulisan-tulisan tentang Teologia Biblika. Salah
satu dari teolog itu adalah George Lorenz Bauer.
George Lorenz Bauer (1796), orang
pertama yang menyusun dan mempublikasikan teologi Perjanjian Lama secara
historis kritis, Bauer menyusun bukunya ke dalam tiga bagian antara lain :
Teologi, Anthroplogi dan Christologi. Faham rasionalisnya, sangat mempersoalkan
masalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ke dua orang ini mendirikan cabang
teologi Perjanjian Lama dan teologi Perjanjian Baru. Menurut Bauer,“segala ide
tentang penyataan Allah yang suprnatral melalui teophani, mujijat,
nubuatan-nubuatan harus ditolak, sebab segala sesuatu bertentangan dengan akal
dan dengan mudah dapat disejajarkan dengan apa yang terdapat di antara
bangsa-bangsa yang lain”.
Tokoh lain ialah Schleiermarcher
(1768-1834), seorang Pastor yang sangat berpengaruh di Berlin. Ia memiliki
pandangan yang sangat merendahkan Perjanjian Lama. Bagi Schleiermacher,
“Perjanjian Lama adalah peristiwa yang kebetulan terjadi (historical accident)
yang dikembangkan oleh orang Kristen dari pakaian Yudaisme”
Hegel adalah tokoh Filsafat yang
merupakan kolega dari Schleiermarcher di Universitas Berlin. Ciri-ciri yang
mendasar dari filsafat Hegel ialah character Dialektikal. Teori Hegel “segala
sesuatu di dalam dunia memiliki oposisi, setiap tesis memiliki antitesis, tiap
tesis dan antitesis membentuk sintesis dan menjadi tesis baru pada tingkatan
yang lebih tinggi “Menurut Hegel, ide berkembang dari sesuatu yang sederhana
kepada tingkatan yang lebih tinggi, dan merupakan kunci untuk memahami rahasia
dunia. Filsafat Hegel mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia termasuk contoh
pengaruh filsafat Hegel kepada teologia antara lain tentang pandangannya
terhadap Agama Kristen (Sintesis) yang merupakan hasil perpaduan antara agama
purba (tesis) dengan agama Yahudi (antitesis)dstsintesis antitesis Tesis
Antitesis.
Tokoh lain yang mempengaruhi
perkembangan teologia Perjanjian Lama ialah Soren Kierkegaard. Ia menolak
pandangan Hegel dengan teori Dialekticalnya dan penekankannya justru atas
rasionalism dari eksistensialism dari pengalaman manusia. Isu sentral bagi Kierkegaard
adalah “apakah artinya menjadi orang Kristen – di dalam kekristenan? Dia
melihat bahwa di dalam kebenaran kekeristenan, manusia tidak menemukan
kebenarannya. Dalam tulisannya ia menolak dengan keras Hegelianism, dan dengan
usahanya ia mencoba mencapai kebenaran melalui akal manusia. Bagi dia berbicara
tentang kemasukakalan kekeristenan adalah penghianatan, karena subjeknya ialah
penyataan Allah yang tidak terbatas kepada standar manusia. Kekeristenan
dianggap tidak teruji melalui pikiran manusia. Itu adalah suatu skandal dan
menjadi batu sandungan, kepada intelektual manusia.
4. Dari pencerahan kepada teologia dialektis
Secara garis besar ada 4
perkembangan:
a. Teologia Perjanjian Lama dipengaruhi atau dikuasai
oleh beberapa sistem filsafatb.
Teologia
Perjanjian Lama filosofi itu ditantang oleh sarjana-sarjana Alkitab konservatif
b. Teologia Perjanjian Lama digelapkan oleh apa yang
disebut sejarah agama
c. Teologia Perjanjian Lama dihidupkan kembali oleh
teologia dialektif.
d. Teologia Perjanjian Lama dipengaruhi dikuasai oleh
beberapa sistem filsafat
W.M.L. de Wette (1831) metode rasionalisme historis kritis Immanuel Kant (filosof
Jerman), filsafat Kant yang dipakai oleh de Wette ke dalam Perjanjian Lama untuk memperoleh manfaatnya kewajiban-kewajiban etis yang diambil untuk dimanfaatkan.
Wilhelm Vatke (1835), dia menerima fislsafat Hegel (Jerman), yaitu tentang tesis, antitesis dan sintesis.
W.M.L. de Wette (1831) metode rasionalisme historis kritis Immanuel Kant (filosof
Jerman), filsafat Kant yang dipakai oleh de Wette ke dalam Perjanjian Lama untuk memperoleh manfaatnya kewajiban-kewajiban etis yang diambil untuk dimanfaatkan.
Wilhelm Vatke (1835), dia menerima fislsafat Hegel (Jerman), yaitu tentang tesis, antitesis dan sintesis.
e. Teologia rasional dan filosofis ditentang.
Pada pertengahan abad ke 19 ada
sejumlah teolog yang mempersoalkan sahnya pendekatan kepada Alkitab yang
historis kritis. Yang paling terkemuka diantara mereka adalah Prof. E. W.
Hengstenberg (1829 - 1835) seorang teolog Alkitabiah di Jerman yang sangat
produktif, karyanya yang paling terkenal ialah ‘Christology of the old
Testament’ (dua jilid). Dari judul buku tersebut, sudah nampak kesatuan antara
dua perjanjian /testament.Pada pihak lain Prof. G.F. Oehler di Universitas
Tuebingen, Jerman memang tidak setujui dengan Schleiermacher, yang menolak Perjanjian
Lama tetapi ia juga tidak setuju dengan Hengstenberg yang katanya
‘penyamarataan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru’. Oehler sendiri sebenarnya
mempertahankan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian baru dengan sekaligus
mengakui perbedaan antara ke duanya. Definisinya tentang teologi Perjanjian
Lama,“ adalah ilmu historis yang didasarkan pada eksegese gramatis-historis dan
bertugas untuk mengungkapkan kembali inti tulisan-tulisan Alkitab menurut
peraturan-peraturan bahasa yang sedang diteliti sambil memperhatikan baik
situasi kondisi historis yang berlaku pada saat tulisan-tulisan ini dibuat
maupun situasi kondisi tiap-tiap penulis suci“.
Pertengahan abad ke 19 juga
menyaksikan timbulnya aliran ‘sejarah keselamatan’ yang
meyakini inspirasi ilahi dari seluruh Alkitab. Pelopornya ialah ke dua teolog Johann T. Beck dan J. Ch. Konrad Von Hofmann. Yang mereka maksudkan dengan pendekatan ‘sejarah keselamatan’ ialah...
meyakini inspirasi ilahi dari seluruh Alkitab. Pelopornya ialah ke dua teolog Johann T. Beck dan J. Ch. Konrad Von Hofmann. Yang mereka maksudkan dengan pendekatan ‘sejarah keselamatan’ ialah...
(i)
Inti seluruh Alkitab ialah sejarah bagaimana Tuhan
(mau) menyelamatkan manusia.
(ii)
Teologi
Perjanjian Lama bertugas untuk menguraikan sejarah keselamatan dalam Kristus
sebagai iman diungkapkan dalam Perjanjian Lama
(iii)
Tiap-tiap kitab mempunyai tempat yang logis dalam sistem
sejarah keselamatan.
(iv)
Alkitab dipandang bukan sebagai perbendaharaan ayat-ayat
emas yang diperlukan untuk teologi sistematika, melainkan sebagai kesaksian
tentang perbuatan-perbuatan Allah yang berlangsung dalam sejarah sampai kepada
penggenapannya pada zaman akhir.
c.Aliran ‘sejarah agama-agama.
Periode ini dikenal sebagi “periode
kematian bagi teologia Perjanjian Lama” yang dimulai dengan karya Julius
Wellhausen “ Prolegomena Zur Geschicte Israels atau ‘prolegomena to the history
of Israel’ pada tahun 1878. Puncak dari pikiran Wellhausen ialah pendekatan
terhadap genetic dan perkembangan sejarah Israel dan agama-agama. Dia
mempercayai bahwa Agama Israel dalam Perjanjian Lama adalah agama yang natural
seperti agama-agama di sekitar Israel. Lebih lanjut menurutnya, beberapa bagian
kitab dalam Perjanjian Lama seperti kitab Yosua, Hakim-Hakm, Samuel dan
Raja-Raja memiliki sedikit saja pemahaman atau pengertian tentang Pentateukh.
Menurut Wellhausen, segala sesuatu
berkembang dari sesuatu yang sederhana kepada sesuatu yang utuh atau sempurna,
dari sesuatu yang bebas kepada yang otoriter atau terikat (Wellhausen
dipengaruhi Fisafat Hegel).
Segala bentuk-bentuk perayaan, kurban-kurban,
merupakan bagian dari kebiasaan bangsa-bangsa kafir di sekitar Israel yang
mereka sadur kepada agama mereka.Wellhausen berpendapat bahwa kita tidak
menemukan satu teologia dalam Perjanjian Lama,
tetapi berbagai teologia yang berbeda-beda, yang
mengikuti garis perkembangannya masing-masing. Secara lebih terperinci
Ciri-ciri karyanya itu sebagai berikut:
(a) Sumber P’ dalam Pentateukh dianggap ditulis jauh
kemudian hari, yaitu pada zaman pembuangan
di Babel.
(b) Sejarah Israel diubah dan direkontruksikan sama
sekali karena hasil-hasil kritik pentateukh.
(c) ‘Agama Israel’ dianggap mengalami perkembangan
dari yang primitif dan nyata sampai kepada pandangan yang ‘filosofis’ dan
abstrak. Pandangan ini timbul karena teori perkembangan dari Hegel dan Darwin.
Pada akhir abad ke 19 teori evolusi dalam semua bidang ilmu pengetahuan
dianggap sebagai kunci gaib untuk mengungkapkan segala rahasia sejarah.
Akibat pandangan ‘evolusi agama’ ini
untuk teologi Perjanjian Lama ialah bahwa Perjanjian Lama dipandang sebagai
refleksi Yahudi terhadap pandangan sejumlah agama-agama kafir. Akibatnya ialah
bahwa tidak ada lagi kesatuan Perjanjian Lama, karena Perjanjian Lama dianggap
sebagai koleksi bahan-bahan dari zaman-zaman dan latar belakang yang
berbeda-beda.Berdasarkan perkembangan di atas maka tidak mungkin lagi untuk merumuskan
suatu ‘teologi Perjanjian Lama’, yang dapat hanyalah suatu ‘sejarah
agama-agama’. Selama empat dasa warsa lebih pandangan inilah yang
berkuasa.Dalam periode ini kita dapat mencatat penyebab kematian Teologia yang
pertama dan yang terutama adalah akibat dari karya Wellhausen, yang menekankan
“berbagai teologia” dalam Perjanjian Lama dan “menolak kesatuan teologia” itu.
Sebab kedua ialah perlawanan para Sarjana Alkitab yang memiliki preposisi yang
salah (merendahkan Perjanjian Lama) dan memasukkan pikiran mereka ke dalam
Perjanjian Lama. Penyebab ketiga ialah bahwa secara umum interes atau minat
terhadap Perjanjian Lama sangat rendah dalam teoloogia secara per se pada abad
kedua puluh.
d. Teologia Perjanjian Lama dihidupkan kembali oleh
teologia dialektis
Setelah perang dunia I para teolog
cenderung untuk meninggalkan keyakinan akan peranan suatu ‘evolusi agama’ dan
kembali menekankan peranan ‘wahyu’ dalam Perjanjian Lama. Hal ini karena
keganasan manusia terhadap manusia selama perang dunia I tersebut menghancurkan
kepercayaan bahwa manusia makin lama makin baik dan sempurna.
Juga kesimpulan tentang siapa yang
menyebabkan pecahnya perang dunia I yang berbeda-beda bahkan bertolak belakang
satu dengan yang lain yang dihasilkan oleh para ahli sejarah dari negara-negara
Eropa, itu menghancurkan kepercayaan orang bahwa ada ilmu pengetahuan yang
sungguh ilmiah dan obyektif. Ternyata ilmu pengetahuan sendiri juga sangat
subyektif dan tidak terlepas dari pandangan dan pendirian pribadi sang ilmuwan.
Itu semua membawa sejumlah teolog dari aliran ‘teologi dialektis’ yang antara
lain mengutamakan transendensi Allah untuk menekankan peranan ‘wahyu’ dalam
teologi Perjanjian lama.
Manusia mulai mencari sumber
kekuatan dan pelindung bagi mereka di dalam Firman Allah. Karl Barth
menjelaskan perubahan dalam teologi sesudah tahun 1918 antara lain:
“Secara actual, akhir abad ke-19 merupakan “the good
old days” yang datang bagi teologia dalam segala sesuatu seperti yang terjadi
pada waktu yang lain pada tahun 1914. secara kebetulan atau tidak, sesuatu yang
memiliki makna terjadi setiap tahun. Ernst Troeltsch, seorang teolog
sistematika yang berpengaruh dan kemudian menjadi pemimpin yang sangatterkenal
dalam dunia pendidikan moderen berhenti dari sekolah teologianya masuk ke sekolah
filsafat. Suatu hari, pada awal Agustus 1914 saya ingat sebagai suatu hari yang
gelap. Kurang lebih 33 orang pemikir Jerman mempengaruhi opini masyarakat
melalui proklamasi mereka untuk mendukung kebijakan perang dunia kedua yang
dikeluarkan oleh Wilhelm II dan penasihat-penasihatnya. Di antara para pemikir
itu saya menemukan seseorang yang paling saya hargai dari seluruh guru-guru
teologia saya yang sangat saya hormati bagi banyak orang atau jika bukan bagi
semua orang, teologia datang lagi kembali seperti air yang mengalir atas
kehidupan kita pada waktu mengalami kekeringan”.
Terbitnya ‘Teologi Perjanjian Lama’
karangan Edward Koenig pada tahun 1922 menandai permulaan ‘kebangkitan kembali’
teologi Perjanjian Lama sebagai cabang ilmu teologi.
Teologinya ini mempunyai beberapa ciri khas:
(a) Pandangan yang tinggi mengenai Perjanjian Lama.
(b) Penolakan terhadap teori evolusi agama corak
Wellhausen.
(c) Tuntutan agar eksegese dilakukan berdasarkan
metode gramatis – histories.
Satu lagi alasan bagi pembaharuan
atau bangkitnya minat terhadap Perjanjian Lama
sesudah perang dunia I adalah banyaknya teolog dan politikus di Jerman mulai menyerang
Perjanjian Lama sebagai bagian kampanye anti Semit. Selama akhir abad kedua puluh, pergumulan gereja di Jerman difokuskan kepada perhatian atas Perjanjian Lama dan mulai memancing gagasan yang radikal pada hakekat dan relevansinya (Perjanjian Lama).
sesudah perang dunia I adalah banyaknya teolog dan politikus di Jerman mulai menyerang
Perjanjian Lama sebagai bagian kampanye anti Semit. Selama akhir abad kedua puluh, pergumulan gereja di Jerman difokuskan kepada perhatian atas Perjanjian Lama dan mulai memancing gagasan yang radikal pada hakekat dan relevansinya (Perjanjian Lama).
Namun demikian semua teolog pada
zamannya dan sesudahnya mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Beberapa karya
‘teolog Perjanjian Lama’ terkemuka yang diterbitkan sejak 1922 ialah antara
lain karangan Walter Eichrodt (1933 - 39),yang mempertahankan bahwa teologi
Perjanjian Lama tetap bersifat historis, Gerhardus Vos yang mengarang ‘Biblika
Theology’ (1948), Th Vriezen (1949), Gerhard Von Rad (1957 - 60), J. B. Payne
(1962 ) dan Walter Kaiser (1978).
5. Gerakan Teologia Biblika
Setelah melewati berbagai periode
dalam perkembangannya, Teologia Perjanjian Lama atau teologia Biblika memasuki
suatu era yang oleh Robert Dentan disebut sebagai “masa keemasan” (Golden Age)
teologia Perjanjian Lama. Menurut Dentan masa keemasan ini dimulai dengan Otto
Baab’s “The Theology of Old Testament” dan karya Th.C. Vriezen “An Outline of
Old Testament Theology” pada tahun 1945. Apa yang disebut Dentan sebagai masa
keemasan Teologia Perjanjian Lama , disebut oleh Brevard Childs sebagai gerakan
Teologi Biblika ( Biblical Theology Movement) melalui karyanya “Biblical
Theology in Crisis”. Menurutnya gerakan teologia Perjanjian Lama dimulai setelah
Perang Dunia ke-2 .
Menurut Childs, gerakan Teologia
Perjanjian lama mencapai suatu kesadaran di sekitar lima tema pokok antara
lain:
1. Penemuan kembali dimensi teologia .
2. Kesatuan seluruh Alkitab.
2. Penyataan adalah bersifat sejarah.
3. Pendekatan terhadap Alkitab melalui studi
linguistik (Ibrani).
4. Perjanjian Lama bersifat kontra dengan
lingkungannya (ANE).
5. Penekanan kepada sejarah sebagai arena wahyu.
BAB III
PENUTUP
Setelah era gerakan Teologi Biblika,
kehadiran teologia Perjanjian lama masa kini mengalami perkembangan yang sangat
luar biasa dalam diskusi teologi. Kehadiran Teologia Perjanjian lama sebagai
bagian dari Teologi Biblika tidak lepas dari karya para sarjana Alkitab dalam
berbagai tulisan. Kehadiran Teologia Perjanjian Lama sama halnya dengan
disiplin teologia lainnya (Sistimatika, Historika, Praktika dan lain-lain)
selalu ditempatkan pada dua sisi, sisi pendukung dan oposisi.
Komentar
Posting Komentar