SEJARAH PERKEMBANNGAN TEOLOGI LAMA





BAB I
PENDAHULUAN

Mempelajari Perjanjian Lama, berarti mempelajari sejarah masa lalu, mempelajari dunia yang berbeda dengan konteks kita masa kini. Perbedaan ke dua zaman ini menjadi akar persoalan dalam studi Perjanjian Lama. Menemukan arti suatu teks dan makna ayat itu pada masa kini merupakan masalah mendasar dalam teologia Perjanjian Lama. Problematika Perjanjian Lama ini dilihat oleh para Ahli Alkitab dalam dua aspek yaitu adanya perbedaan dan persamaan yang terdapat di antara dunia Perjanjian Lama dengan dunia masa kini.
Seorang teolog Jerman, Gottold Lessing mengatakan: terdapat ‘jurang yang ngeri’ antara dunia Alkitab (teks asli, arti asli) dengan dunia masa kini yang tidak mungkin dapat dijembatani, sehingga tidak mungkin bagi kita untuk mencari arti dari suatu teks (arti asli) dan maknanya bagi kehidupan masa kini. Menurut Lessing, kitab Suci (khususnya Perjanjian Lama) terikat kepada lingkungan sejarah kunonya. Semua pernyataan di dalam Perjanjian Lama diwarnai oleh kepercayaan primitif dari orang-orang yang menulisnya. Pemikiran Lessing ini telah “mengotori” pemikiran para ahli tentang tentang Alkitab, Alkitab hanya merupakan produk dari zamannnya yang tidak lagi dibutuhkan pada zaman moderen ini. Alkitab tidak lagi berbicara secara otoritatif kepada para pembacanya pada masa kini. Dunia dan dunia masa kini dapat digambarkan sebagai berikut :
Dunia Alkitab Dunia masa kini Antara dunia Alkitab berbeda dengan dunia masa kini
1. Latar belakang sejarah2. Geografis
3. Budaya
4. Bahasa dan lain-lain
5. Politik
6. sistim pemerintahan
7. Agama dan kepercayaan dan lain-lain
 Tiap-tiap orang terikat oleh pra-pengertiannya dan tidak mungkin masuk ke dalam pengertian sama dengan penulis zaman dahulu. Maksud yang berarti bagi kita adalah maksud yang kita temukan dalam teks terlepas dari konteks dan maksud asli”. Sejalan dengan perkembangan itu, Ilmu Anthropologi menemukan sekian banyak manusia di bumi dengan keaneka ragaman kebudayaan dan system penghargaan yang melahirkan filsafat Relativisme budaya. Pandangan ini antara lain mancatat, “Tidak ada kebudayaan yang mutlak oleh karena itu kebudayaan membuktikan bahwa manusia dapat hidup berbeda dari manusia yang lain. Kebudayaan hanya berlaku atau benar dalam kebudayaan itu sendiri. Tidak mungkin sesuatu diambil dari kebudayaan menilai sesuatu dari kebenaran yang lain.
 Arti dan nilai-nilai yang berlaku untuk masa kini sangat berbeda dari arti dan nilai pada jaman kuno. Dengan demikian kita tidak mungkin dapat memahami arti asli dari satu teks.
Untuk menjembatani kesenjangan antara arti asli dari satu teks dengan maknanya bagi kita masa kini, para Sarjana Alkitab Moderen mencoba memberikan tiga pendekatan:
1. Arti asli (dengan metode apapun) identik dengan arti masa kini.
2. Arti asli, mengandung gagasan-gagasan yang harus diterjemahkan untuk memperoleh    
makna masa kini. 
3. Arti asli  cara orang Kristen dahulu menggunakannya, sehingga makna masa kini  cara ayat-ayat tersebut digunakan oleh Kristen modern . menjadikan rasio manusia sebagai ukuran dalam mengevaluasi Alkitab Perjanjian Lama. (contoh-contoh pemikiran Teolog ini akan dibahas dalam bagian yang berikut) Untuk menjembatani gap yang terdapat antara Perjanjian Lama dengan dunia masa kini.
Maka kita harus bertitik tolak kepada pekerjaan Roh Kudus yang menginspirasikan para Penulis Perjanjian lama. Roh Kudus yang sama adalah Roh yang mengiluminasi pembaca Alkitab masa kini. Roh Kudus berkuasa untuk “menyeberangkan” pembaca masa kini untuk dapat memahami apa yang terjadi pada dunia kuno (Perjanjian Lama). Bertitik Tolak dari keyakinan terhadap pekerjaan Roh Kudus, kita paling tidak menemukan “tiga jembatan” yang menghubungkan dunia masa kini dengan dunia Kuno.
a. Dunia Perjanjian Lama memiliki Allah yang sama dengan duni masa kini
Berdasarkan pemahaman ini pertama-tama kita harus menolak pemahaman relativisme sejarah yang membedakan Allah Perjanjian Lama (kuno) dengan Allah dalam Perjanjian Baru (sebutkan perbedaan-perbedaan Allah menurut pandangan ini). Allah menjadi jembatan yang utama karena Allah adalah Allah yang tidak berubah. Ia Allah yang tidak berubah dalam keberadaan-Nya, kesempurnaan-Nya, tujuan-Nya, dan janji-janji-Nya. Allah adalah Allah yang konsisten yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian-Nya dengan manusia yang berlaku di sepanjang masa. Perjanjian Lama mencatat kesetiaan Allah terhadap Perjanjian-Nya di sepaanjang sejarah antara lain: Kej.17:7; Ul.29:13; 2Sam.7:13-16; 1Raja.8:15-16,56; Ibr.6:16-20)
b. Dunia Perjanjian Lama adalah dunia yang sama dengan dunia masa kini
Dunia Perjanjian Lama adalah sejarah yang riil yang pertama-tama di apklikasikan dalam dunia perjanjian Lama itu sendiri (contoh Yosua1:1-12:24 dan 1Raj.23:26-27;24:3-4). Mereka mengaplikasikan peristiwa-peristiwa pada zamannya karena mereka mengalami dampak atau akibat dari setiap peristiwa itu. Peristiwa Perjanjian Lama itu terus berkembang dan membuka jalan sampai kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman moderen ini. Peristiwa-peristiwa dalam Perjanjian Lama itu telah meninggalkan “tanda” bagi kita pada masa kini. Kita hidup di dunia yang sama yang telah diciptakan oleh Allah. Dunia Perjanjian Lama memiliki persoalan yang sama dengan dunia masa kini meskipun bentuk-bentuknya yang berbeda.
c. manusia Perjanjian Lama adalah “manusia yang sama” dengan manusia masa kini
Manusia Perjanjian Lama dengan manusia masa kini memiliki hakekat yang sama paling tidak dalam dua hal.
- manusia yang sama karena diciptakan oleh Allah menurut gambar dan rupa-Nya. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, sehingga persoalan dan kebutuhan dasar manusia sepanjang sejarah pada hakekatnya adalah sama (apa itu?)
- manusia yang sama yang memiliki keunikan dari ciptaan lainnya. Keunikan manusia ini merupakan implikasi gambar dan rupa Allah yang terdapat pada manusia. Manusia memiliki kemampuan berbahasa (linguistic abilities), kapasitas mental (mental capacity) dan sifat moral (moral nature).
Melalui pendekatan ini, gap antara dunia kuno dengan dunia masa kini dapat dijembatani. Jembatan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
-          Allah
-          Dunia
-          Manusia
-          Dunia
-          Dunia kuno masa kini
Terlepas dari semua pandangan dan teori para ahli Alkitab, dalam mempelajari Perjanjian Lama, kitapun diperhadapkan dengan persoalan lain
1.                    Mengetahui arti asli, berarti mengetahui tujuan penulis
Persoalannya : Hampir keseluruhan kitab dalam Perjanjian Lama tidak menjelaskan tentang penulis-penulis tiap-tiap kitab secara eksplisit, apakah satu kitab ditulis oleh satu pengarang atau lebih (seperti Mazmur, Pentateukh, Yesaya dll).
2.                    Dari mana kita dapat mengetahui arti teks berdasarkan tujuan seseorang atau lebih dari penulis yang tidak diketahui pengarangnya?
2. Mengetahui arti asli berarti mengetahui maksud penulis
Persoalan : Apakah maksud penulis identik dengan pengarang Ilahi
Untuk menjawab pertanyaan ini biasanya para sarjana Alkitab konservatif mengacu kepada tulisan Rasul Petrus: ‘yang terutama....’ (2 Ptr. 1:20-21). Berdasarkan teks ini jelas, bahwa dibalik semua penulis manusia ada seorang pengarang tunggal yang memiliki maksud dan tujuan dalam semua tulisan. Beberapa contoh kasus: Hosea 11:1 Dari uraian di atas, maka kita menemukan berbagai persoalan hermeneutik:
• Kita tidak mengetahui pengarang-pengarang dari kitab-kitab Perjanjian Lama
• Beberapa kitab ditulis oleh satu orang atau lebih dalam waktu tertentu
• Kita tidak mengetahui suatu apapun tentang pengarang kecuali melalui karangan mereka
• Tujuan Ilahi dalam setiap karangan yang ditulis oleh para penulis kadang-kadang lebih dari yang dimaksud oleh pengarang.








BAB II
ISI

 Sejarah perkembangan Teologia Perjanjian Lama.
Sejarah Teologia Perjanjian Lama sangat panjang, menarik dan penuh dengan liku-liku. Meskipun disipilin Teologia dalam bentuknya yang moderen paling tidak sudah berusia dua ratus tahun, tetapi akar teologia Perjanjian Lama harus kembali kepada Perjanjian Lama itu sendiri . Sebagian besar Sarjana Alkitab menghubungkan sejarah Teologia Perjanjian Lama kepada Johann Philipp Gabler, yang dianugrahi dengan gelar Doktor Teologia di Universitas Aldorf tahun 1787 oleh karena sumbangannya terhadap perkembangan dalam bidang Perjanjian Lama (meskipun Ia sendiri tidak pernah menulis Teologi Perjanjian Lama). Teologia Perjanjian Lama merupakan bagian dari Teologia Biblika ( pada zaman Gabler tidak ada perbedaan antara Teologia dogmatika/sistimatika dan Biblika) sehingga perkembangan teologia Perjanjian Lama sebagai bagian dari disiplin teologia secara menyeluruh merupakan perkembangan Teologia Biblika. Teologia Perjanjian Lama mengalami perkembangan dalam beberapa periode:
1. Periode Persiapan
Teologia Perjanjian Lama pertama-tama tidak harus dihubungkan dan dipahami dengan zaman Gabler, tetapi pada Perjanjian Lama itu sendiri. Sejarah Teologia Perjanjian Lama telah eksist jauh sebelum jaman Gabler. Perjanjian Lama sudah dipahami di dalam zamannya sebagai penyataan Allah dan Perjanjian Lama dipakai oleh para penulis Alkitab (Perjanjian Lama) yang kemudian sebagai sumber teologianya. (Mazmur 78; Yer. 26:18; Ezr. 7:10; Neh. 8:1-8). Nabi Hagai harus mengetahui tentang Nubuatan Nabi Yeremia tentang Allah yang akan menggerakkan “cincin materai-Nya” dari tangan tangan nenek moyang Konya (Yer.22:24-25) ketika Ia berkata Allah akan membuat Zerubabel, anak anak Konya, seperti “cincin materai” (Hag.2:23). Yeremia berbicara tentang suatu “Perjanjian Baru” (Yer.31:31-34). Nabi yang lain berbicara tentang nabi suatu “keluaran baru” (Yes.43:14-21; 48:20; 52:12) dan “Daud yang baru” (Yer.23:5-6; Yeh.34:23-24; 37:24-27).
Komunitas Qumran menafsirkan bahan-bahan dari Perjanjian Lama secara teologis. Mereka menulis beberapa tafsiran atau hymne yang didasarkan kepada tema-tema dari Perjanjian Lama.Perjanjian Baru, memakai Perjanjian lama secara teologis, dua puluh tujuh kitab dalam Perjanjian Baru menunjukkan hubungan secara langsung dengan Perjanjian Lama.Yesus Kristus secara konsisten berbicara tentang Perjanjian Lama sebagai dasar dan penjelasan bagi pengajaran dan pelayanan-Nya (Mat. 5:17; Luk 17, 21; 24:27). Penulis PB (para rasul) mempelajari Perjanjian Lama sebagai nubuatan keselamatan (Kis. 3:24). Mereka menekankan kebenaran tentang berbagai aktifitas Allah dalam sejarah Israel (Kis. 7, 13:16-41). Mengambil Perjanjian Lama sebagai bagian yang besar dalam khotbah-khotbah mereka terhadap gereja mula-mula dalam Perjanjian Baru (Kis. 2:16, 25; Mat. 1:22). Perkembangan metode penafsiran Alkitab secara harafiah telah di kenal pada zaman itu, tetapi penafsiran ini banyak diselewengkan dengan legalistik para Pharisi. Tradisi Yahudi mencoba membatalkan keaslian Firman Allah (Mrk. 7:13) dan menurunkannya kepada kebenaran diri sendiri. Orang Yahudi menolak keselamatan di dalam Kristus, menutup diri dari kebenaran Alkitab ( Perjanjian Lama) sebagai penyataan Allah.
Perkembangan sejarah teologia Perjanjian Lama nampak jelas dalam kehidupan dalam Teologia Bapa-bapa gereja. Pengertian tentang sejarah penyataan Allah sebagai karya
keselamatan Allah dalam sejarah Perjanjian Lama diyakini sebagai teologia yang sesungguhnya.
Irenaeus (AD. 180), murid Policarpus yang adalah murid Rasul Yohanes tidak hanya mendirikan fondasi bagi teologia gereja, dia juga dicatat seorang teolog biblika secara khusus menekankan kesatuan yang ditemukan dalam penyataan Allah yang berkembang.
 Agustinus dalam bukunya city of God (AD. 425) membuat suatu analisa terhadap pernyataan Perjanjian. Lama dalam lima periode sejarah. Tetapi Bapa gereja ini juga mewarisi metode Alegoris dari Alexandria Yudaisme dalam menafsirkan Alkitab pada abad ke empat sampai dengan Abad ke 16, thn.500-1500 (Abad pertengahan), minat terhadap Perjanjian Lama ditandai dengan munculnya empat sistim penafisran yaitu : arti literal atau historical, allegorical, moral atau tropological, dan spiritual atau analogical. Contoh dari keempat metode penafsiran ini dapat kita lihat dalam peristiwa pemberian “manna di padang gurun”. secara literalØ :manna adalah makanan ajaib yang diberikan oleh Allah untuk memelihara bangsa Israel di padang gurun.
Ø  Secara Alegoris manna adalah berkat sakramen dalam Perjamuan kudus, secara tropological :manna adalah substansi Roh dari hari ke hari melaluiØ
kehadiran Roh Kudus .
Ø  Secara analogical, : manna adalah “makanan dari surga yang memberkati jiwa atau menggambarkan kesatuan yang sempurna dengan Kristus.
Contoh lain : Kota Yeruslem menurut metode penafsiran ini dapat diartikan sebagai berikut :
Ø  Analogical ---------------------  Yerusalem : Kota surgawi
Ø  Alegorical ---------------------- Yerusalem : Gereja
Ø  Tropological ---------------------- Yerusalem : Jiwa manusia
Ø  Literal ---------------------  Yerusalem : Kota Yehuda
2 .Dari reformasi s/d zaman pencerahan
a.Para reformator
Para reformator abad ke 16 menerapkan prinsip ‘sola scriptura’ (hanya Alkitab saja) dan sui ipsui interper ‘Alkitab menafsirkan dirinya sendiri’ menjadi semboyan reformasi sekaligus juga menjadi dasar untuk teologia biblika ( Perjanjian Lama) di kemudian hari. Prinsip-prinsip ini menolak ‘kebenaran gereja’, ‘Paus’ atau ‘orang-orang kudus’ yang ditetapkan sebagai penafsir atas gereja. Penafsiran menurut prinsip ini hanya datang dari Alkitab yang harus memberikan kebenaran hikmat tentang diri-Nya sendiri (Ams. 2:6). Prinsip ini juga membatalkan Alegoris yang mendominasi pada abad pertengahan dan dalam zaman ini Alkitab lebih cenderung ditafsirkan secara harafiah
b. Zaman ortodoksi
Pada zaman ini muncul teologia biblika yang pertama (th. 1640). Teologia biblika dalam zaman ini menyusun ayat-ayat dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru untuk mendukung teologia sistematika yang menjadi ratu di antara cabang ilmu teologia zaman itu. Dengan kata lain, di buat rumusan-rumusan teologia dan kemudian dicari ayat-ayat pendukung. Dalam periode ini teologia biblika bertugas untuk mendukung teologia sistematika. Atau dengan kata lain Teologia Biblika menjadi ayat pandukung bagi teologi Sistimatika
c. Pietisme
Pietisme membawa suatu perkembangan dengan semboyan ‘Back to the bible’. Perkembangan ini sebagai reaksi dan antisipasi terhadap teologia ortodoks yang sangat kaku. Teologia biblika harus dilepaskan dari teologia sistematika sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan teologia biblika dipahami sebagai dasar bagi teologia sistematika.
3.Zaman pencerahan
Pada zaman pencerahan terjadilah suatu pendekatan yang baru sama sekal kepada teologia biblika disebabkan oleh ciri-ciri zaman itu:
a.       Segala sesuatu yang bersifat supranatural ditolak.
 Akal manusia dipandang sebagai kriteria/hakim tertinggi dalam usaha menemukan dan merumuskan kebenaran. Ia juga diakui sebagai sumber utama untuk memperoleh pengetahuan. Akibat perkembangan ini ialah bahwa Alkitab sebagai rekaman sempurna dari Wahyu Allah ditolak .
b.      Berkembangnya hermeneutika Alkitab yang baru, yaitu metode historis kritis.
Yang berkuasa di antara para teolog liberal sampai hari ini.
c.       Kritik liberaris yang radikal diterapkan juga pada Alkitab.
Salah satu pelopornya ialah dokter medis dari Perancis Jean Astruc yang mulai untuk membagi Pentateukh atas ‘sumber-sumber’ yang fiktif.
d. Keyakinan akan inspirasi ilahi dari Alkitab ditolak.
Alkitab mulai dipandang sebagai salah satu dari sekian dokumen kuno di dunia ini. Pelopor paham yang baru ini ialah seorang teolog reasionalis Johann Salomo Semler (1725-1791). Ia menegaskan bahwa ‘Firman Allah sama sekali tidak sama dengan Alkitab’ sehingga tidak lagi dapat dikatakan bahwa ‘Alkitab adalah Firman Allah’. Itu berarti bahwa:
a) tidak semua bagian Alkitab berdasarkan wahyu dan ispirasi Allah sendiri;
b) Alkitab adalah dokumen historis yang biasa
c) Alkitab harus diselidiki dengan metode-metode historis dan itu berarti dengan metode-metode yang kristis.
Berdasarkan aksioma-aksioma ini maka teologia biblika pada zaman pencerahan menjadi ilmu yang historis yang lagi bertentangan dengan teologia sistematika, walaupun kali ini pertentangan itu dari segi lain. Pada tahun 1792 Von Ammon menulis sebuah teologia biblika berdasarkan ide-ide dari Semler, dan dari dua ahli filsafat di Jerman yaitu Lessing dan Kant. Buku yang dikarangnya itu sebenarnya merupakan ‘teologia filosofis’. Di dalam tulisannya nampak bahwa ia menganggap Perjanjian Baru lebih tinggi dari Perjanjian Lama.
Gagasan ini merupakan langkah pertama ke arah pemisahan antara ‘teologia Perjanjian Baru’ dan “teologia Perjanjian Lama.
Johann Philipp Gabler (1753-1826), seorang teolog dari aliran rasionalisme pada tahun 1787 memberikan definisi penting, yang mengakibatkan bahwa teologia biblika terlepas sama sekali dari teologia sistematika dan kemudian berdiri sendiri sebagai cabang ilmu sejarah. Gabler menulis: ‘teologia biblika bersifat historis mengingat bahwa ia meneruskan apa yang penulis-penulis suci pikirkan tentang perkara-perkara ilahi; sebaliknya teologia sistematika bersifat didaktis (mengajar), mengingat bahwa ia mengajarkan apa yang dipikirkan teolog itu tentang perkara-perkara ilahi sesuai dengan kemampuannya, waktunya, zamannya, alirannya, tempatnya dan hal-hal lain seperti itu’
Gabler menetapkan prinsip-prinsip dalam membuat teologia Perjanjian Lama : pertama, Teologia Biblika dimulai dari studi tiap-tiap bagian Alkitab dengan membedakan setiap bagian itu berdasarkan prinsip penafsiran historical-Gramatikal. Kedua, kita harus membedakan setiap bagian Alkitab satu dengan yang lain, tidak ada perbedaan atau persamaan dari tiap-tiap bagian itu. Ketiga, dia harus sistimatis atau menyusun ide-ide secara umum tanpa mendistorsi atau menghilangkan perbedaan-perbedaan. Pendekatan Gabler sebagai seorang rasionalist terhadap teologia biblika berdasarkan tiga prinsip:
1) Inspirasi ilahi dianggap tidak ada, sebab: “Roh Allah sama sekali tidak memusnahkan dalam tiap orang suci kemampuannya sendiri untuk mengerti dan ukuran pemahamannya secara alamiah terhadap perkara-perkara ilahi..” Yang menentukan di sini bukanlah ‘otoritas ilahi’ melainkan ‘hanya apa yang orang-orang itu pikirkan’
2) Teologi Alkitab bertugas mengumpulkan secara teliti berbagai gagasan dari setiap penulis Alkitab, karena Alkitab tidak berisi gagasan satu orang saja. Tugas ini hanya akan dapat dilaksanakan melalui metode penelitian sejarah, satra dan filsafat.
3) Sebagai salah satu disipilin ilmu, teologi Alkitab harus membedakan antara beberapa periode yang lama dengan yang baru. Mana yang berlaku pada zaman ini mana yang tidak
Gabler memiliki pengaruh bagi para Sarjana Alkitab terkemudian yang menghasilkan tulisan-tulisan tentang Teologia Biblika. Salah satu dari teolog itu adalah George Lorenz Bauer.
George Lorenz Bauer (1796), orang pertama yang menyusun dan mempublikasikan teologi Perjanjian Lama secara historis kritis, Bauer menyusun bukunya ke dalam tiga bagian antara lain : Teologi, Anthroplogi dan Christologi. Faham rasionalisnya, sangat mempersoalkan masalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ke dua orang ini mendirikan cabang teologi Perjanjian Lama dan teologi Perjanjian Baru. Menurut Bauer,“segala ide tentang penyataan Allah yang suprnatral melalui teophani, mujijat, nubuatan-nubuatan harus ditolak, sebab segala sesuatu bertentangan dengan akal dan dengan mudah dapat disejajarkan dengan apa yang terdapat di antara bangsa-bangsa yang lain”.
Tokoh lain ialah Schleiermarcher (1768-1834), seorang Pastor yang sangat berpengaruh di Berlin. Ia memiliki pandangan yang sangat merendahkan Perjanjian Lama. Bagi Schleiermacher, “Perjanjian Lama adalah peristiwa yang kebetulan terjadi (historical accident) yang dikembangkan oleh orang Kristen dari pakaian Yudaisme”
Hegel adalah tokoh Filsafat yang merupakan kolega dari Schleiermarcher di Universitas Berlin. Ciri-ciri yang mendasar dari filsafat Hegel ialah character Dialektikal. Teori Hegel “segala sesuatu di dalam dunia memiliki oposisi, setiap tesis memiliki antitesis, tiap tesis dan antitesis membentuk sintesis dan menjadi tesis baru pada tingkatan yang lebih tinggi “Menurut Hegel, ide berkembang dari sesuatu yang sederhana kepada tingkatan yang lebih tinggi, dan merupakan kunci untuk memahami rahasia dunia. Filsafat Hegel mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia termasuk contoh pengaruh filsafat Hegel kepada teologia antara lain tentang pandangannya terhadap Agama Kristen (Sintesis) yang merupakan hasil perpaduan antara agama purba (tesis) dengan agama Yahudi (antitesis)dstsintesis antitesis Tesis Antitesis.
Tokoh lain yang mempengaruhi perkembangan teologia Perjanjian Lama ialah Soren Kierkegaard. Ia menolak pandangan Hegel dengan teori Dialekticalnya dan penekankannya justru atas rasionalism dari eksistensialism dari pengalaman manusia. Isu sentral bagi Kierkegaard adalah “apakah artinya menjadi orang Kristen – di dalam kekristenan? Dia melihat bahwa di dalam kebenaran kekeristenan, manusia tidak menemukan kebenarannya. Dalam tulisannya ia menolak dengan keras Hegelianism, dan dengan usahanya ia mencoba mencapai kebenaran melalui akal manusia. Bagi dia berbicara tentang kemasukakalan kekeristenan adalah penghianatan, karena subjeknya ialah penyataan Allah yang tidak terbatas kepada standar manusia. Kekeristenan dianggap tidak teruji melalui pikiran manusia. Itu adalah suatu skandal dan menjadi batu sandungan, kepada intelektual manusia.
4. Dari pencerahan kepada teologia dialektis
Secara garis besar ada 4 perkembangan:
a. Teologia Perjanjian Lama dipengaruhi atau dikuasai oleh beberapa sistem filsafatb.
    Teologia Perjanjian Lama filosofi itu ditantang oleh sarjana-sarjana Alkitab konservatif
b. Teologia Perjanjian Lama digelapkan oleh apa yang disebut sejarah agama
c. Teologia Perjanjian Lama dihidupkan kembali oleh teologia dialektif.
d. Teologia Perjanjian Lama dipengaruhi dikuasai oleh beberapa sistem filsafat
    W.M.L. de Wette (1831) metode rasionalisme historis kritis Immanuel Kant (filosof
Jerman), filsafat Kant yang dipakai oleh de Wette ke dalam Perjanjian Lama untuk memperoleh manfaatnya kewajiban-kewajiban etis yang diambil untuk dimanfaatkan.
Wilhelm Vatke (1835), dia menerima fislsafat Hegel (Jerman), yaitu tentang tesis, antitesis dan sintesis.
e. Teologia rasional dan filosofis ditentang.
Pada pertengahan abad ke 19 ada sejumlah teolog yang mempersoalkan sahnya pendekatan kepada Alkitab yang historis kritis. Yang paling terkemuka diantara mereka adalah Prof. E. W. Hengstenberg (1829 - 1835) seorang teolog Alkitabiah di Jerman yang sangat produktif, karyanya yang paling terkenal ialah ‘Christology of the old Testament’ (dua jilid). Dari judul buku tersebut, sudah nampak kesatuan antara dua perjanjian /testament.Pada pihak lain Prof. G.F. Oehler di Universitas Tuebingen, Jerman memang tidak setujui dengan Schleiermacher, yang menolak Perjanjian Lama tetapi ia juga tidak setuju dengan Hengstenberg yang katanya ‘penyamarataan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru’. Oehler sendiri sebenarnya mempertahankan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian baru dengan sekaligus mengakui perbedaan antara ke duanya. Definisinya tentang teologi Perjanjian Lama,“ adalah ilmu historis yang didasarkan pada eksegese gramatis-historis dan bertugas untuk mengungkapkan kembali inti tulisan-tulisan Alkitab menurut peraturan-peraturan bahasa yang sedang diteliti sambil memperhatikan baik situasi kondisi historis yang berlaku pada saat tulisan-tulisan ini dibuat maupun situasi kondisi tiap-tiap penulis suci“.
Pertengahan abad ke 19 juga menyaksikan timbulnya aliran ‘sejarah keselamatan’ yang
meyakini inspirasi ilahi dari seluruh Alkitab. Pelopornya ialah ke dua teolog Johann T. Beck dan J. Ch. Konrad Von Hofmann. Yang mereka maksudkan dengan pendekatan ‘sejarah keselamatan’ ialah...
(i)                 Inti seluruh Alkitab ialah sejarah bagaimana Tuhan (mau) menyelamatkan manusia.
(ii)                Teologi Perjanjian Lama bertugas untuk menguraikan sejarah keselamatan dalam Kristus sebagai iman diungkapkan dalam Perjanjian Lama
(iii)             Tiap-tiap kitab mempunyai tempat yang logis dalam sistem sejarah keselamatan.
(iv)             Alkitab dipandang bukan sebagai perbendaharaan ayat-ayat emas yang diperlukan untuk teologi sistematika, melainkan sebagai kesaksian tentang perbuatan-perbuatan Allah yang berlangsung dalam sejarah sampai kepada penggenapannya pada zaman akhir.
c.Aliran ‘sejarah agama-agama.
Periode ini dikenal sebagi “periode kematian bagi teologia Perjanjian Lama” yang dimulai dengan karya Julius Wellhausen “ Prolegomena Zur Geschicte Israels atau ‘prolegomena to the history of Israel’ pada tahun 1878. Puncak dari pikiran Wellhausen ialah pendekatan terhadap genetic dan perkembangan sejarah Israel dan agama-agama. Dia mempercayai bahwa Agama Israel dalam Perjanjian Lama adalah agama yang natural seperti agama-agama di sekitar Israel. Lebih lanjut menurutnya, beberapa bagian kitab dalam Perjanjian Lama seperti kitab Yosua, Hakim-Hakm, Samuel dan Raja-Raja memiliki sedikit saja pemahaman atau pengertian tentang Pentateukh.
Menurut Wellhausen, segala sesuatu berkembang dari sesuatu yang sederhana kepada sesuatu yang utuh atau sempurna, dari sesuatu yang bebas kepada yang otoriter atau terikat (Wellhausen dipengaruhi Fisafat Hegel).
Segala bentuk-bentuk perayaan, kurban-kurban, merupakan bagian dari kebiasaan bangsa-bangsa kafir di sekitar Israel yang mereka sadur kepada agama mereka.Wellhausen berpendapat bahwa kita tidak menemukan satu teologia dalam Perjanjian Lama,
tetapi berbagai teologia yang berbeda-beda, yang mengikuti garis perkembangannya masing-masing. Secara lebih terperinci Ciri-ciri karyanya itu sebagai berikut:
(a) Sumber P’ dalam Pentateukh dianggap ditulis jauh kemudian hari, yaitu pada zaman     pembuangan di Babel.
(b) Sejarah Israel diubah dan direkontruksikan sama sekali karena hasil-hasil kritik pentateukh.
(c) ‘Agama Israel’ dianggap mengalami perkembangan dari yang primitif dan nyata sampai kepada pandangan yang ‘filosofis’ dan abstrak. Pandangan ini timbul karena teori perkembangan dari Hegel dan Darwin. Pada akhir abad ke 19 teori evolusi dalam semua bidang ilmu pengetahuan dianggap sebagai kunci gaib untuk mengungkapkan segala rahasia sejarah.
Akibat pandangan ‘evolusi agama’ ini untuk teologi Perjanjian Lama ialah bahwa Perjanjian Lama dipandang sebagai refleksi Yahudi terhadap pandangan sejumlah agama-agama kafir. Akibatnya ialah bahwa tidak ada lagi kesatuan Perjanjian Lama, karena Perjanjian Lama dianggap sebagai koleksi bahan-bahan dari zaman-zaman dan latar belakang yang berbeda-beda.Berdasarkan perkembangan di atas maka tidak mungkin lagi untuk merumuskan suatu ‘teologi Perjanjian Lama’, yang dapat hanyalah suatu ‘sejarah agama-agama’. Selama empat dasa warsa lebih pandangan inilah yang berkuasa.Dalam periode ini kita dapat mencatat penyebab kematian Teologia yang pertama dan yang terutama adalah akibat dari karya Wellhausen, yang menekankan “berbagai teologia” dalam Perjanjian Lama dan “menolak kesatuan teologia” itu. Sebab kedua ialah perlawanan para Sarjana Alkitab yang memiliki preposisi yang salah (merendahkan Perjanjian Lama) dan memasukkan pikiran mereka ke dalam Perjanjian Lama. Penyebab ketiga ialah bahwa secara umum interes atau minat terhadap Perjanjian Lama sangat rendah dalam teoloogia secara per se pada abad kedua puluh.
d. Teologia Perjanjian Lama dihidupkan kembali oleh teologia dialektis
Setelah perang dunia I para teolog cenderung untuk meninggalkan keyakinan akan peranan suatu ‘evolusi agama’ dan kembali menekankan peranan ‘wahyu’ dalam Perjanjian Lama. Hal ini karena keganasan manusia terhadap manusia selama perang dunia I tersebut menghancurkan kepercayaan bahwa manusia makin lama makin baik dan sempurna.
Juga kesimpulan tentang siapa yang menyebabkan pecahnya perang dunia I yang berbeda-beda bahkan bertolak belakang satu dengan yang lain yang dihasilkan oleh para ahli sejarah dari negara-negara Eropa, itu menghancurkan kepercayaan orang bahwa ada ilmu pengetahuan yang sungguh ilmiah dan obyektif. Ternyata ilmu pengetahuan sendiri juga sangat subyektif dan tidak terlepas dari pandangan dan pendirian pribadi sang ilmuwan. Itu semua membawa sejumlah teolog dari aliran ‘teologi dialektis’ yang antara lain mengutamakan transendensi Allah untuk menekankan peranan ‘wahyu’ dalam teologi Perjanjian lama.
Manusia mulai mencari sumber kekuatan dan pelindung bagi mereka di dalam Firman Allah. Karl Barth menjelaskan perubahan dalam teologi sesudah tahun 1918 antara lain:
“Secara actual, akhir abad ke-19 merupakan “the good old days” yang datang bagi teologia dalam segala sesuatu seperti yang terjadi pada waktu yang lain pada tahun 1914. secara kebetulan atau tidak, sesuatu yang memiliki makna terjadi setiap tahun. Ernst Troeltsch, seorang teolog sistematika yang berpengaruh dan kemudian menjadi pemimpin yang sangatterkenal dalam dunia pendidikan moderen berhenti dari sekolah teologianya masuk ke sekolah filsafat. Suatu hari, pada awal Agustus 1914 saya ingat sebagai suatu hari yang gelap. Kurang lebih 33 orang pemikir Jerman mempengaruhi opini masyarakat melalui proklamasi mereka untuk mendukung kebijakan perang dunia kedua yang dikeluarkan oleh Wilhelm II dan penasihat-penasihatnya. Di antara para pemikir itu saya menemukan seseorang yang paling saya hargai dari seluruh guru-guru teologia saya yang sangat saya hormati bagi banyak orang atau jika bukan bagi semua orang, teologia datang lagi kembali seperti air yang mengalir atas kehidupan kita pada waktu mengalami kekeringan”.
Terbitnya ‘Teologi Perjanjian Lama’ karangan Edward Koenig pada tahun 1922 menandai permulaan ‘kebangkitan kembali’ teologi Perjanjian Lama sebagai cabang ilmu teologi.
Teologinya ini mempunyai beberapa ciri khas:
(a) Pandangan yang tinggi mengenai Perjanjian Lama.
(b) Penolakan terhadap teori evolusi agama corak Wellhausen.
(c) Tuntutan agar eksegese dilakukan berdasarkan metode gramatis – histories.
Satu lagi alasan bagi pembaharuan atau bangkitnya minat terhadap Perjanjian Lama
sesudah perang dunia I adalah banyaknya teolog dan politikus di Jerman mulai menyerang
Perjanjian Lama sebagai bagian kampanye anti Semit. Selama akhir abad kedua puluh, pergumulan gereja di Jerman difokuskan kepada perhatian atas Perjanjian Lama dan mulai memancing gagasan yang radikal pada hakekat dan relevansinya (Perjanjian Lama).
Namun demikian semua teolog pada zamannya dan sesudahnya mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Beberapa karya ‘teolog Perjanjian Lama’ terkemuka yang diterbitkan sejak 1922 ialah antara lain karangan Walter Eichrodt (1933 - 39),yang mempertahankan bahwa teologi Perjanjian Lama tetap bersifat historis, Gerhardus Vos yang mengarang ‘Biblika Theology’ (1948), Th Vriezen (1949), Gerhard Von Rad (1957 - 60), J. B. Payne (1962 ) dan Walter Kaiser (1978).
5. Gerakan Teologia Biblika
Setelah melewati berbagai periode dalam perkembangannya, Teologia Perjanjian Lama atau teologia Biblika memasuki suatu era yang oleh Robert Dentan disebut sebagai “masa keemasan” (Golden Age) teologia Perjanjian Lama. Menurut Dentan masa keemasan ini dimulai dengan Otto Baab’s “The Theology of Old Testament” dan karya Th.C. Vriezen “An Outline of Old Testament Theology” pada tahun 1945. Apa yang disebut Dentan sebagai masa keemasan Teologia Perjanjian Lama , disebut oleh Brevard Childs sebagai gerakan Teologi Biblika ( Biblical Theology Movement) melalui karyanya “Biblical Theology in Crisis”. Menurutnya gerakan teologia Perjanjian Lama dimulai setelah Perang Dunia ke-2 .
Menurut Childs, gerakan Teologia Perjanjian lama mencapai suatu kesadaran di sekitar lima tema pokok antara lain:
1. Penemuan kembali dimensi teologia .
2. Kesatuan seluruh Alkitab.
2. Penyataan adalah bersifat sejarah.
3. Pendekatan terhadap Alkitab melalui studi linguistik (Ibrani).
4. Perjanjian Lama bersifat kontra dengan lingkungannya (ANE).
5. Penekanan kepada sejarah sebagai arena wahyu.


BAB III
PENUTUP

Setelah era gerakan Teologi Biblika, kehadiran teologia Perjanjian lama masa kini mengalami perkembangan yang sangat luar biasa dalam diskusi teologi. Kehadiran Teologia Perjanjian lama sebagai bagian dari Teologi Biblika tidak lepas dari karya para sarjana Alkitab dalam berbagai tulisan. Kehadiran Teologia Perjanjian Lama sama halnya dengan disiplin teologia lainnya (Sistimatika, Historika, Praktika dan lain-lain) selalu ditempatkan pada dua sisi, sisi pendukung dan oposisi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekerja yang berhasil (Pengkhotbah 11:6)

ESKATOLOGI

Hakim-Hakim 7:1-8 Kualitas Pilihan Tuhan.